Warta Uncen

Sekjen Kemenristekdikti Berdialog Dengan Para Pimpinan Perguruan Tinggi di Papua dan Papua Barat

Bagian 3 (selesai): Road Map Digital Universitas, Angka Tidak Kuliah Anak-Anak Papua dan Adanya Perguruan Tinggi di Wilayah Pegunungan Papua

Selasa, 8 Oktober 2019, Gedung Rektorat Uncen.

Pertemuan Sekjen Kemenristekdikti Prof. Ainum Naim dengan pimpinan perguruan tinggi di Papua benar-benar membicarakan hal yang sangat serius dalam pengembangan SDM Papua dan masalah yang harus diatasi mengenai tingginya angka anak-anak Papua yang tidak kuliah.

Dr. Hans Kaiwai dari Program Pascasarjana Uncen menanyakan tentang Road Map Digital Universitas di Indonesia. Beberapa program IPA yang diterapkan Kemenristekdidkti dikhawatirkan membuat jurang yang lebar antara universitas yang besar dengan universitas yang kecil ketika hal ini tidak didesain dalam Road Map Digital University yang jelas. Hal ini bisa dilihat dari PT-Satker,PT-BLU dan PT-BH, dari klaster-klaster yang dilakukan ada hal-hal yang harus dibenahi baik dari sisi kelembagaan maupun ekosistem digitalnya. Regulasi yang dibuat berkaitan dengan bagaimana seharusnya entry system digital bisa ditiru universitas yang kecil tetapi ada suatu program tertentu yang dilaksankan untuk itu dan proses pembelajaran ini diakui bahwa bisa bersamaan dengan tatap muka sekian persen yang dapat diakui sebagai proses pembelajaran.

Menjawab pertanyaan dari Dr. Hans tentang Road Map Digital Universitas di Indonesia, Prof. Ainum menjelaskan bahwa Kementerian sudah memfasilitas pengembangan sistem dan proses pembelajaran secara digital (online). Secara khusus perguruan tinggi yang mempunyai program pendidikan profesi guru mengembangkan mata kuliah online. Ini memang sangat dibutuhkan karena dalam jangka waktu yang pendek harus menghasilkan tenaga guru yang sesuai standar yang jumlahnya sangat besar. Bagi perguruan tinggi yang ingin mengembangkan mata kuliah online ini bisa berkoordinasi dengan Direktorat Pembelajaran bisa juga berkolaborasi dengan pusat-pusat pengembangan teknologi pendidikan di berbagai universitas seperti ITB dan UGM. Universitas Terbuka juga sudah mempunyai banyak mata kuliah online, bahkan ada mahasiswa perguruan tinggi lain mengambil mata kuliah di UT.

Mengenai ketimpangan yang besar yang bisa terjadi dari sistem digital ini, Prof. Ainum justru menyatakan bahwa ini akan mengurangi ketimpangan atau mengurangi adanya jurang yang lebar antara universitas besar dan universitas kecil. Teknologi yang baru ini membuat yang besar itu tidak selalu lebih kuat, bahkan yang kecil bisa berinovasi lebih lanjut.

Kementerian juga membuat aturan bahwa perguruan tinggi tidak bisa tanpa batas meminta mahasiswanya mengambil mata kuliah online dari perguruan tinggi lain. Artinya masing-masing perguruan tinggi harus mengembangkan juga. Ada sistem-sistem yang bisa diakses secara gratis, namun bagaimanpun harus perguruan tinggi harus mengalokasikan sumber daya akan fokus dalam pengembangan modul-modul online tersebut. Jadi dengan fasilitas online dari lembaga yang ada di kemenristekdikti perkuliahan itu bisa diselengarakan dengan lebih murah.

Tantangan dari sistem ini adalah pertemuan dengan mahasiswa bisa berkurang, bisa juga semakin tinggi. Karena dengan online itu aktivitas mahasiswa akan termonotor, jadi berapa lama dia membaca dan mengerjakan latihan termonitor dalam sistem itu, jelas Ainum.

Sementara itu Kepala Lembaga Layanan Pendidkan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XIV, Dr. Suriel Mofu  menyampaikan permasalahan utama pendidikan tinggi di Papua dan Papua Barat. Menurutnya angka partisipasi pendidikan tinggi di Papua baru 11% , jadi ada 89% anak-anak Papua belum menikmati pendidikan tinggi. Dari kondisi yang ada, Dr. Mofu menjelaskan bahwa dirinya sudah mengadakan penelitian dengan mendata mahasiswa yang kuliah pada 55 perguruan tinggi di seluruh Papua.

Dari penilitian itu terdata ada 66.000 mahasiswa yang terdaftar di pangkalan data, dari jumlah itu ada 37.000 mahasiswa tidak kuliah, 23.000 mahasiswa kuliah aktif. Dari 23.000 yang aktif berdasarkan penghasilan oran tua , 89% penghasilan ibu dibawah satu juta rupiah, 69% penghasilan ayah dibawah satu juta rupiah, yang tidak berpenghasilan 50% dari 89%. Sehingga 37.000 mahasiswa yang tidak kuliah orantuanya pasti tidak berpenghasilan, jelas Dr. Mofu.

Kategori untuk mendapatkan Beasiswa BIDIKMISI adalah tiga juta rupiah. Jumlah ini kalau di Papua penghasilan ayah dan ibu digabungkan  ada di bawah satu juta rupiah. Kalau di angka tiga juta sangat dikhawatirkan bisa 90% anak-anak Papua tidak kuliah. Dengan kondisi ini khusus mengenai beasiswa bidikmisi Dr. Mofu mengharapkan agar Papua dan Papua Barat dipisahkan dari alokasi nasional, jangan dialokasikan bersama perguruan tinggi lain. Sangat diharapkan agar pemerintah dapat intervensi kelemahan pembiayaan pendidikan tinggi oleh masyarakat dengan terobosan diantaranya usulan 700 formasi PNS dosen bagi perguruan tinggi se-Papua. Supaya PTS di Papua menjadi kuat. Dari sisi ketenagaan nantinya yayasan akan memenuhi hal-hal yang sifatnya fasilitas.

Intervensi lainnya melalui UU Nomor 12 Tahun 2012 diamanatkan bahwa pemerintah daerah bisa terlibat dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Selama otsus di Papua belum ada peraturan daerah yang mengatur pembiayaan perguruan tinggi. Supaya pemda bisa secara rutin membiayai pendidikan tinggi harus ada peraturan yang mengatur itu. Oleh karena itu Ketua LLDIKTI mengajak para pimpinan perguruan tinggi untuk mendorong pemda agar melihat pendidikan tinggi di Tanah Papua. Data-data yang sudah dimiliki oleh LLDIKTI Wilayah XIV sudah disampaikan kepada Menteri dan Presiden.

Rektor IAIN, Dr. Idrus Al Hammid menyampaikan bahwa sudah seharusnya pemerintah pusat membangun satu universitas di wilayah pegunungan untuk mengatasi besarnya angka anak-anak Papua yang berlum menikmati pendidikan tinggi. Salah satu langkah awal mungkin universitas negeri yang ada membuka fakultas pertanian, yang nantinya dalam perkembangan kalau sudah kuat baru ditingkatkan statusnya. Intinya bahwa sudah harus adanya perguruan tinggi di beberapa daerah lainnya di Papua terlebih khusus di wilayah pegunungan.

Sekjen menanggapi usulan dari Ketua LLDIKTI dan Rektor IAIN dengan menyetujui agar ada pertemuan dengan pemerintah daerah untuk mendukung pendidikan tinggi di Papua.  Prof. Ainum menjelaskan bahwa sebelum dikeluarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, banyak pemerintah daerah yang membantu perguruan tinggi. Setelah adanya undang-undang tersebut dan interpretasi sebagian dari Auditor pada anggran daerah, maka keterlibatan pemda jadi terhenti walaupun masih ada beberapa yang masih membantu pembiayaan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memang bisa mendapat bantuan dari pemda berdasarkan UU nomor 12 tahun 2012, namun dalam UU nomor 23 dijelaskan bahwa tanggung jawab pemda pada pendidikan hanya sampai di tingkat SMA/SMK. Tapi tidak ada juga ayat yang melarang pemda untuk membantu perguruan tinggi. Dalam prakteknya ada pemda yang berani dan ada juga yang tidak berani membantu perguruan tinggi.

Usulan tentang beasiswa bagi Papua dan Papua Barat untuk dipisahkan dari alokasi nasional bersama perguruan tinggi lain sangat disetujui oleh Sekjen, tahun 2020 beasiswa bidikmisi namanya berubah menjadi  KIP-Kuliah yang nilainya meningkat tiga kali lebih besar.

Menutup dialog ini, Prof. Berth Kambuaya  sangat mendukung apa yang disampaikan oleh Ketua LLDKITI mengenai para pimpinan perguruan tinggi di tanah Papua harus berkumpul dan menyatukan pikiran untuk mempertanyakan kepada pemerintah daerah dan DPRP mengenai keterlibatan dua lembaga tersebut dalam membantu pendidikan tinggi di Papua. Permasalahan yang ada jelas harus ada intervensi dari pemerintah daerah, sehingga pendidikan tinggi terbantukan, anak-anak papua usia kuliah juga dapat menikmati pendidikan tinggi. (yt)

 

Loading

Tags