Dalam rangka Dies Natialis Ke-62 Tahun Uncen, Panitia pelaksana mengundang salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan ceramah tentang Konstitusi, Demokrasi dan Katahanan Nasional bagi sivitas akademik Universitas Cenderawasih. Kegiatan berlangsung di ruang rapat pimpinan, Gedung Rektorat. Jumat, 18 Oktober 2024.
Kegiatan ini dihadiri oleh Pembantu Rektor Bidak Akademik, Dr. Dirk Y.P. Runtuboi, M.Kes. Bebrapa pejabat di lingkungan Fakultas, Lembaga dan Pscasarjana Uncen. Dihadiri juga oleh pimpinan KPU dan BAWASLU Provinsi Papua, serta para dosen, mahasiswa Program Pascasarjana dan mahasiswa Fakultas Hukum.
Dr. Dirk Runtuboi menyampaikan selamat datang dan memperkenalkan Uncen dengan sejarah berdirinya pada tahun 1962 serta perkembangan selama 62 tahun kepada Prof. Arief Hidayat. Kemudian Purek I juga menyampaikan apresiasi atas kehadiran salah Hakim Mahkamah Konstitusi yang dalam kesibukan bersedia memenuhi undangan untuk hadir di Universitas Cenderawasih.
Prof. D. Arief Hidayat, S.H., M.S. megawali ceramahnya dengan bercerita bahwa Tahun 2010 pernah ke Jayapura dalam kegiatan Pertemuan Dekan FH Seluruh Indonesia dan FH Uncen saat itu sebagai Tuan Rumah. Beliau hadir sebagai Dekan FH Universitas Diponegoro, Periode 2007-2011.
Sebagai Hakim Konstitusi, Prof. Arief mengatakan bahwa dirinya bersama 8 Hakim lainnya di MK hanya diperbolehkan untuk menguji pada ujian Disertasi dan memberi kuliah serta ceramah. Dan aturan yang harus dipatuhi adalah tidak menerima bayaran atas undangan sebagai penguji dan pemateri.
Tentang Mahkamah Konstitusi, Prof. Arif menjelaskan sejak MK didesain di Austria pada tahun 1920 oleh Hans Kelsen, hanya mengatur tentang masalah Politik dan Kelembagaan serta HAM. Negara lain yang menganut Sistem Sosialis, MK nya dipisahkan ada yang menangani masalah politik, ada juga juga yang menangani tentang HAM, serta ada yang menangani mengenai ekonomi.
Konstitusi di Indonesia mengatur tentang seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu MK di Indoensia sangat berbeda dengan negara lain, sehingga kemampuan para hakimnya dituntut untuk memahami seluruh aspek hukum di Indonesia.
Materi ceramah yang disampaikan pada kesempatan ini berjudul “Meningkatkan Kualitas Nasionalisme Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Nasional”. Yang dimulai dengan masalah Krisis Global yg menyangkut Konflik Politik, Ketegangan Ekonomi, Melemahnya Kohesi Sosial, dan Memburuknya Ecologi.
Keempat hal dari krisis global ini akan berdampak kepada Indonesia yang bisa menimbulkan krisis di dalam negara. Sumber daya alam dapat terkuras, demokrasi akan terganggu dan menjadi kemunduran karena ketidakberhasilan konsolidasi demokrasi, serta Oligarki-Autokrasi politik sosial ekonomi dan ekologi.
Indonesia sejak tahun 1998 telah meninggalkan sistem Non-Demokratik dengan lahirnya Reformasi yang menumbangkan Orde Baru, orde yang penuh dengan paktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Terjadi perpecahan pada elit politik di era itu. Ketidakpuasan yang memuncak dari rakyat dengan pemerintahan orde baru, serta munculnya Gerakan yang massif oleh mahasiswa dan elemen Masyarakat sipil.
Dengan Reformasi untuk Demokrasi maka ; Konstitusi negara pada saat itu harus diamandemen, supremasi hukum harus ditegakan, muncul banyak partai politik, pemilu berlangsung jujur dan adil, Perempuan juga diberi ruang dalam sosial dan politik, adanya kebebasan pers dan kebebasan berserikat, serta dijalankannya teori separation of power dan distribution of power dengan menggunakan check and balance.
Reformasi muncul karena praktek parahnya KKN di masa orde baru, namun setelah 26 tahun KKN masih subur. Selain itu, suburnya ikatan primordialisme, patrimonial dan feodalisme. Masih adanya ekstrimisme, radikalisme, sparatisme dan terorisme. Hukum juga masih dipermainkan. Semua itu merupakan beberapa indikator negatif yang nampak dari demokrasi bangsa Indonesia.
Sebagai seorang akademisi, Prof. Arif sangat berharap bahwa para akademisi harus berperan sebagai navigator perubahan dalam era reformasi yang masih banyak praktek orde baru di dalamnya.
Akademisi dan kaum intelektual mempunyai tanggung jawab kepada publik terhadap lestarinya NKRI berdasarkan Pancasila, serta kehidupan dan penghidupan warga negara dengan lestarinya alam semesta dan lingkungan hidup.
Akademisi harus dapat menjaga moralitas dan etika dalam kehidupan berbangsa dan benegara, serta menghindari untuk terlarut dalam menikmati kekuasaan dengan mempraktekan korupsi kolusi dan nepotisme. Bahkan berperan aktif untuk menyerukan kebenaran dan keadilan, menyerukan nilai-nilai kehidupan yang demokratis berdasarkan atas hukum dan berketuhanan.
Ada banyak hal yang disampaikan oleh Prof. Arif, terkait apa yang harus dilakukan akademisi untuk menjaga keutuhan NKRI degan kemajuan Demokrasi yang lebih baik di masa mendatang.
Prof. Arif juga tak lupa memberikan sebuah perenungan tentang Siklus 20 atau 30 tahun perkembangan yang dialami bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan sampai hari ini. Bahwa Indonesia mengalami situasi yang berdarah-darah dalam membentuk dan mempertahankan keutuhan NKRI. Dimulai pada tahun 1908 yang dikenal dengan “Kebangktan Nasional”, lalu 20 tahun kemudian di tahun 1928 muncul “Sumpah Pemuda” yang menyatukan berbagai perbedaan di antara para pejuang.
Di tahun 1945 pada akhirnya para Founding Father memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang yang kemudian masih diganggu oleh Belanda sampai akhir tahun 1949. Dalam kurun waktu 20 tahun setelah kemerdekaan, ideologi bangsa yang menyatukan kedaulatan NKRI diguncang pada tahun 1965.
28 tahun kemudian, karena masa orde baru yang memunculkan ketidakpuasaan rakyat atas pemerintahan 32 tahun Presiden Soeharto, terjadi lagi tragedi berdarah tahun 1998 yang melahirkan Reformasi. Saat ini tahun 2024, Apa yang akan terjadi dengan Ibu Pertiwi ? Semoga tidak ada lagi pertumpahan darah karena terganggunya kedaulatan negara atau karena Kembali muncul ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah, harap Guru Besar Universitas Diponegoro ini. ***
(FO/PW/YT)